Minggu, 15 Mei 2011

Stres, Kaitan Stres dengan Psikologi Lingkungan, dan Pengaruh Stres terhadap Perilaku Individu

Definisi Stres
Istilah stres dikemukakan oleh Hans Selye yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain, istilah stres dapat digunakan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut. Stres adalah beban mental yang oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan (dalam Sarwono, 1992). Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Menurut Korchin (1976) keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak megancam kesejahteraan atau intergritas seseorang.
Stres tidak saja kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksi terhadap tekanan tadi, akan tetapi stres adalah keterkaitan antar ketiganya (Prawitasari, 1989; dalam Prabowo, 1998). Fincham & Rhodes (1988) menyimpulkan stres merupakan gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologikal dan somatik, hasil dari tidak atau kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif. Namun pada umunya kita merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang negatif, suatu kondisi yang mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental, atau mengarah ke perilaku yang tak wajar. Selye membedakan antara distress yang destruktif (stres yang negatif), dan eustress, yang merupakan kekuatan yang merupakan kekuatan yang positif (stres yang positif).
Kaitan Stres dengan Psikologi Lingkungan
Ketika tidak mengalami stres, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stres. Bahkan suatu stres terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium yang bergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Dalam hal ini stres bisa terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stres sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya. Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan, dan seterusnya (Heimstra & McFarling, 1978). Kita dapat merasakan suara di bawah kondisi tertentu dapat dipersepsi sebagai kebisingan dan bagaimana persepsi ini mempengaruhi respon psikologis dan fisiologis terhadap sumber kebisingan. Sama halnya ketika kita menghadapi elemen-elemen lingkungan lainnya seperti kondisi atmosfir, kepadatan penduduk, rancangan arsitektur, dan produk teknologi.
Dalam konteks lingkungan binaan, maka stres dapat muncul jika lingkungan fisik dan rancangan secara langsung atau tidak langsung menghambat tujuan penghuni, dan jika rancangan lingkungannya membatasi strategi untuk mengatasi hambatan tersebut, maka hal itu merupakan sumber stres. Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stres dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangan bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu. Cara penyesuaian atau pengatasan masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam. Pengandaian yang kedua adalah bahwa variabel transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stres psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang kontrol, pengaturan ruang dan kualitas lain dapat menjadi variabel transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stres atau tidak. Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stres dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti di tempat kerja, di lingkungan fisik, dan kondisi sosial. Stres yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah, ataupun tempat kerja. Singkatnya, terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stres.

Pengaruh Stres terhadap Perilaku Individu
Menurut Veitch & Arkkelin (1995) stres dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan bertemu dengan stresor, menjadi sadar akan bahaya, memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kita berhasil atau gagal dalam beradaptasi. Ketika suatu stresor kita evaluasi, kita seleksi strategi-strategi untuk mengatasinya, kita lakukan “pergerakan-pergerakan” tubuh secara fisiologis dan psikologis untuk melawan stresor, dan lalu mengatasinya dengan suatu tindakan. Jika coping behavior (perilaku penyesuaian diri) ini berhasil, maka adaptasi akan meningkat dan pengaruh stres akan menghilang. Sementara jika coping behavior gagal, individu merasa tidak berdaya atau tidak tahu lagi harus berbuat apa dalam menghadapi stres, maka stres akan menerus, pembangkitan fisik dan fisiologis tidak dapat dihindari sehingga penyakit fisik akan menyerang, bahkan akan timbul reaksi panik berkepanjangan yang bisa menjurus pada timbulnya gejala psikoneurosis (gangguan jiwa).
Stresor lingkungan, menurut Stokols (Brigham, 1991; dalam Prabowo 1998), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stres, penyakit, atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat. Stokols mengatakan bahwa apabila kesesakan tidak dapat diatasi, maka akan menyebabkan stres pada individu. Stres yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stres. Individu yang mengalami stres umumnya tidak mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain.
Namun, bagaimana hal tersebut bisa terjadi ?. Selye mengamati serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan, ia mengidentifikasi tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stres, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS). Tahap pertama adalah alarm reaction dari sistem saraf otonom, termasuk di dalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah, dan otot menegang. Organisme berorientasi terhadap tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman. Tahap ini bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh dan tidak dapat bertahan lama. Selanjutnya tahap ini diikuti oleh tahap resistance atau adaptasi, yang di dalamnya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik. Organisme memobilisasi sumber-sumbernya supaya mampu menghadapi tuntutan. Jika tuntutan berlangsung terlalu lama, maka sumber-sumber penyesuaian ini mulai habis dan organisme mencapai tahap akhir, yaitu tahap exhaustion atau kelelahan, akan terjadi kemudian apabila stresor datang secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat, sehingga akhirnya mempengaruhi perilaku individu dalam lingkungan.
Jika diterapkan pada orang, maka sindrom adaptasi umum dari Selye dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut: Jika seseorang untuk pertama kali mengalami situasi penuh stres, maka mekanisme pertahanan dalam badan diaktifkan: kelanjar-kelenjar mengeluarkan atau melepaskan adrenalin, cortisone dan hormon-hormon lain dalam jumlah yang besar, perubahan-perubahan yang terkoordinasi berlangsung dalam sistem saraf pusat (tahap alarm). Jika exposure (paparan) terhadap pembangkit stres bersinambung dan badan mampu menyesuaikan, maka terjadi perlawanan terhadap sakit. Reaksi badaniah yang khas terjadi untuk menahan akibat-akibat dari pembangkit stres (tahap resistance). Tetapi jika paparan terhadap stres berlanjut, maka mekanisme pertahanan badan secara perlahan-lahan menurun sampai menjadi tidak sesuai, dan satu dari organ-organ gagal untuk berfungsi sepatutnya. Proses pemunduran ini dapat mengarah ke penyakit dan hampir semua bagian dari badan (tahap exhaustion).
Menurut Iskandar (1990), proses terjadinya stres juga melibatkan komponen kognitif, sebagaimana diperjelas dalam gambar dibawah ini:

Stres yang diakibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan darah menaik, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut, maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stres akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi situasi stres. Dalam berbagai kasus, stimulus yang tidak menyenangkan tersebut muncul berkali-kali, sehingga reaksi terhadap stres menjadi berkurang dan melemah. Proses ini secara psikologis dikatakan sebagai adaptasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas neuropsikologis semakin melemah dan melalui penelitian kognitif situasi stres tersebut berkurang (Iskandar, 1990).

Contoh dalam kehidupan sehari-hari :

Bangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis, dan sosial akan merupakan sumber stres bagi penghuninya. Apabila perumahan tidak memperhatikan kenyamanan penghuni, misalnya pengaturan udara yang tidak memadai, maka penghuni tidak dapat beristirahat dan tidur dengan nyaman. Akibatnya, penghuni seringkali lelah dan tidak dapat bekerja secara efektif dan ini akan mempengaruhi kesejahteraan fisik maupun mentalnya. Demikian pula apabila perumahan tidak memperhatikan kebutuhan rasa aman warga, maka hal ini akan berpengaruh negatif pula. Penghuni selalu waspada dan akan mengalami kelelahan fisik maupun mental.
Pembangunan perumahan yang tidak menyediakan tempat umum dimana para warga dapat berinteraksi satu sama lain akan membuat mereka sulit berhubungan satu sama lain. Atau perumahan yang tidak memperhatikan ruang pribadi masing-masing anggotanya akan dapat merupakan sumber stres bagi penghuninya.

Contoh Kasus
Salah satu contoh dari kepanikan massal yang ditimbulkan oleh masalah lingkungan, antara lain kasus Love Canal. Love Canal adalah sebuah daerah pemukiman di daerah air terjun Niagara, Amerika Serikat. Antara tahun 1947-1952 tempat itu adalah tempat pembuangan sisa-sisa bahan kimia dari perusahaan Hooker Chemicals and Plastic Corporation. Prosedur pembuangan sampah kimia sudah dilakukan menurut ketentuan yang berlaku pada saat itu sehingga dinilai tidak akan menimbulkan gangguan atau bahaya.
Pada tahun 1953, daerah bekas tempat pembuangan sampah itu dijual kepada Niagara School Board yang kemudian membangun sekolah dan pemukiman di tempat itu. Akan tetapi, pada awal tahun 70-an mulai dicurigai adanya kebocoran sampah kimia tadi yang mengganggu kesehatan pelajar maupun penduduk. Sejumlah pelajar dan penduduk mengeluh gatal-gatal, jumlah penderita kanker dilaporkan meningkat, dan jumlah keguguran serta bayi yang lahir cacat juga bertambah.
Keluhan-keluhan ini sebenarnya sulit dibuktikan karena catatan resmi tidak mendukungnya, tetapi masyarakat merasa perlu untuk melakukan sesuatu. Akhirnya, dibentuklah sebuah tim oleh sebuah badan bernama Environmental Protection Agency (EPA) untuk mengadakan penelitian dampak pencemaran lingkungan di Love Canal itu terhadap kesehatan penduduknya. Pada awal tahun 1980 hasil penelitian itu membuktikan bahwa pencemaran bahan kimia yang terjadi bisa mempengaruhi kromosom manusia sehingga dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan kesehatan seperti telah disebutkan diatas.
Sebagai reaksi terhadap penemuan EPA itu masyarakat memprotes dan menuntut pemerintah agar memindahkan pemukiman mereka. Pemerintah pun, atas instruksi presiden Carter, pada bulan Mei 1980 melaksanakan evakuasi terhadap sekitar 2.500 penduduk yang menelan biaya antara $3-5 juta. Pengungsian ini ternyata tidak meredakan stres penduduk yang sudah terlanjur panik. Pusat Kesehatan Masyarakat setempat telah berusaha untuk menempatkan petugas konseling serta menyebarkan buku-buku dan selebaran-selebaran untuk menerangkan bagaimana caranya mengatasi akibat yang tidak dikehendaki dari keracunan itu, tetapi hasilnya hampir tidak ada. Jumlah yang mau datang untuk konseling hanya kurang dari 100 orang.
Stres yang berkelanjutan ini cukup mengherankan karena ternyata setelah Departemen Kesehatan dan Pelayanan Manusia (Department of Health and Human Services) menguji hasil penelitian EPA, terbukti bahwa hasil penelitian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena EPA membuat penelitian itu bukan untuk tujuan mencari pembuktian ilmiah, melainkan sekadar mencari pembuktian hukum untuk dapat menyeret perusahaan Hooker ke pengadilan dengan maksud meminta ganti rugi. Tidak diduga sama sekali bahwa akibatnya adalah kepanikan masyarakat yang berkepanjangan. Seorang petugas Palang Merah setempat bahkan menyatakan bahwa stres yang ditimbulkan oleh gempa bumi atau gunung meletus dapat lebih mudah diatasi karena cepat berlalu daripada stres yang terjadi di Love Canal yang kronis walaupun bahayanya tidak nyata, namun sulit begitu saja dihilangkan walaupun sudah diberikan rangsang-rangsang dan informasi-informasi baru yang dimaksudkan untuk membatalkan kesan persepsi yang lama. (dalam Sarwono, 1992).

Referensi:
Prabowo, H. (1998). Arsitektur, psikologi, dan masyarakat. Depok: Gunadarma
Sarwono, S.W. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia