Senin, 21 Maret 2011

Kesesakan (Crowding) dan Kepadatan (Density)

Kepadatan dan kesesakan adalah dua dari beberapa kosep gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya. Kedua konsep ini saling berhubungan dan berkaitan satu sama lainnya sehingga mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan.
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus.
Berikut ini akan dibahas mengenai definisi beserta penjelasan mengenai kepadatan dan kesesakan dari para tokoh, hubungan antara kepadatan dan kesesakan, teori-teori yang berhubungan dengan kepadatan dan kesesakan, serta dampak kepadatan dan kesesakan bagi manusia.

Definisi Kesesakan dan Kepadatan
Bentuk lain dari persepsi terhadap lingkungan adalah kesesakan (crowding). Kalau kita berada dalam kereta api atau bus yang penuh dengan penumpang, kita merasa sesak karena didesak-desak orang lain. Demikian juga kalau kita menghadiri resepsi perkawinan yang dihadiri oleh ribuan undangan dan kita harus antri lama sekali untuk membari ucapan selamat kepada pengantin, kita merasa sesak. Jelaslah bahwa kesesakan ada hubungannya dengan kepadatan (density), yaitu banyaknya jumlah manusia dalam suatu batas ruang tertentu. Makin banyak jumlah manusia berbanding luasnya ruangan, makin padatlah keadaannya.
Hubungan antara kepadatan dan kesesakan mempunyai dua ciri. Ciri pertama, kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan dalam artian jumlah manusia. Jadi, tidak termasuk di dalamnya kepadatan dalam arti hal-hal lain yang nonmanusia. Orang yang berada sendirian di tengah sabana yang luas maupun dalam hutan rimba yang penuh pohon dan binatang buas atau ditengah kota yang penuh bangunan tetapi tidak berpenghuni, tidak akan mempersepsikan kesesakan seperti yang dialami oleh penumpang kereta api atau bus atau pengunjung resepsi pernikahan seperti diatas
Ciri kedua, karena kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subjektif. Orang yang sudah biasa naik bus yang padat penumpangnya, mungkin sudah tidak merasa sesak lagi (density tinggi tetapi crowding rendah). Sebaliknya, orang yang biasa menggunakan kendaraan pribadi, bisa merasa sesak dalam bus yang setengah kosong (density rendah tetapi crowding tinggi).
Karena adanya perbedaan antara kepadatan dan kesesakan itu, beberapa pakar juga membedakannya secara teoritis. Stokols (1972, 1978) menyatakan bahwa density adalah kendala keruangan (spatial constraint), sedangkan crowding adalah respon subjektif terhadap ruang yang sesak (tight space).
Sedangkan Altman (1975) menyatakan bahwa kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia setu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil.
Kepadatan memang merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan, tetapi bukanlah merupakan syarat yang mutlak harus ada. Misalnya, pada pasar malam atau pertunjukan bioskop di lapangan atau tempat keramaian lainnya, orang justru mencari kepadatan ditengah keramaian itu, walaupun kepadatannya tinggi, orang tidak merasa sesak. Kesesakan baru terjadi jika ada gangguan atau hambatan tertentu dalam interaksi sosial atau dalam usaha pencapaian suatu tujuan. Misalnya jika orang harus berkompetisi untuk mendapat tempat duduk di bus atau antri untuk berjabat tangan dengan pengantin atau tidak bisa berenang dengan leluasa di kolam renang umum yang penuh dengan pengunjung.
Di lain pihak, karena hubungan yang sangat erat antara kepadatan dan kesesakan, ada pakar-pakar lain yang tidak setuju dengan pembedaan antara kedua hal itu. Jonathan Freedman (1975), misalnya, mengatakan bahwa kesesakan sebagai reaksi subjektif sulit diukur. Ini adalah pandangan behavioristik yang cenderung mengabaikan segala proses internal, termasuk persepsi dan perasaan. Selain itu, menurut Freedman konotasi kesesakan selalu negatif (tidak ada orang yang merasa senang dalam keadaan sesak), sedangkan kalau kita samakan saja kesasakan dengan kepadatan maka kita bisa mencapai objektivitas yang lebih murni dan sekaligus bisa diterangkan mengapa kepadatan juga bisa menimbulkan dampak positif (seperti dalam kasus tempat keramaian diatas).
Pandangan Freedman ini tidak banyak disetujui para pakar lainnya. Secara umum lebih banyak yang setuju dengan Stokols karena memang kedua konsep itu merupakan dua hal yang berbeda dalam kenyataan. Salah satu penelitian yang mendukung pandangan Stokols adalah yang dilakukan oleh A.I Schiffenbauer dkk. (1977). Dalam eksperimennya, ia membuktikan bahwa ruangan dengan banyak sinar menimbulkan kesan kurang sesak, tetapi tidak menambah kesan luas sehingga kalau diisi oleh banyak orang tetap saja ada kesan sempit. Sebaliknya, gedung-gedung berlantai banyak memberi kesan luas (banyak ruangan), tetapi tidak mengurangi kesan sesak karena banyaknya penghuni di gedung itu. Kesimpulannya, antara kepadatan dan kesesakan tidak berkorelasi.
Penelitian-penelitian lain membuktikan bahwa karena sifatnya yang subjektif maka ada beberapa jenis kepadatan pada manusia.
Loo (1973), Mc Grew (1970), dan Saegert (1973, 1974) mengemukakan bahwa pada manusia terdapat kepadatan sosial disamping kepadatan ruangan. Di sebuah ruangan pertemuan yang padat dengan pengunjung, misalnya kepadatan itu bisa disebabkan persepsi bahwa ruangannya memang terlalu sempit untuk sekian banyak pengunjung (kepadatan ruang), tetapi bisa juga karena persepsi bahwa jumlah undangannya terlalu banyak untuk ruangan itu (kepadatan sosial). Reaksi orang terhadap kedua jenis kepadatan itu bisa berbeda. Dalam hal kepadatan ruang, reaksinya mungkin keluar dari ruangan dan mencari tempat lain di sekitar ruangan yang masih agak lega, sedangkan dalam hal kepadatan sosial, mungkin orang akan pulang saja karena merasa bahwa jika ia tidak hadir dalam pertemuan itu tuan rumah juga tidak akan mencari-carinya.
Teori-Teori Kepadatan dan Kesesakan
Peneliti-peneliti seperti Carey (1972) dan Carson (1964) menemukan bahwa manusia membedakan kepadatan di dalam rumahnya (inside density) dan diluar rumahnya (outside density). Dengan mengkombinasikan dua jenis kepadatan ini diperoleh 4 jenis kepadatan, yaitu:
a. Kepadatan pedesaan dimana kepadatan di dalam rumah tinggi, tetapi kepadatan di luar rendah;
b. Kepadatan pinggiran kota (suburb) dimana kepadatan di dalam maupun di luar rumah rendah;
c. Kepadatan pemukiman kumuh di kota dimana kepadatan di luar maupun di dalam rumah tinggi;
d. Kepadatan pemukiman mewah di kota besar dimana kepadatan di dalam rumah rendah, tetapi kepadatan di luar rumah tinggi.
Sedangkan untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilaku, dan teori ekologi.
Menurut model bebean stimulus, kesesakan akan terjadi pada individu yang dikenai terlalu banyak stimulus, sehingga individu tersebut tak mampu lagi memprosesnya. Model kendala perilaku menerangkan bahwa kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa, sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu. Hambatan ini mengakibatkan individu akan melakukan psychological reactance, yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap kondisi mengancam kebebasan untuk memilih. Bentuk psychological reactance tersebut adalah usaha-usaha untuk mendapatkan lagi kebebasan yang hilang, misalnya dengan cara mencari lingkungan baru atau dengan menata kembali lingkungan yang menyesakan tersebut. Sedangkan pembahasan teori ekologi membahas kesesakan dari sudut proses sosial.
1) Model beban stimulus
Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti:
(a) Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
(b) Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
(c) Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
(d) Terlalu banyak mitra interaksi
(e) Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama
Individu akan melakukan penyaringan atau pemilahan terhadap informasi yang berlebihan tersebut. Stimulus yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya akan diabaikan. Stimulus yang penting dan bermanfaat bagi dirinyalah yang akan diperhatikan. Hal tersebut disarankan oleh Milgram bagi penduduk kota untuk melakukan beberapa strategi untuk menyaring informasi yang mereka terima berlebih. Strategi pertama adalah membuat perbedaan-perbedaan antara informasi yang mendapat prioritas tinggi dengan rendah dan hanya akan memperhatikan informasi yang mendapat prioritas tinggi. Strategi kedua adalah membatasi waktu yang digunakan untuk memperhatikan tiap-tiap informasi bahkan menolak informasi yang datang bersama-sama. Dengan strategi ini diharapkan intensi informasi yang datang akan berkurang.
2) Teori kendala perilaku
Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactance) dari Brehm yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
Proshansky dan kawan-kawan (1976) mengemukakan bahwa pengaruh psikologis dari kesesakan yang utama adalah kebebasan memilih individu dalam situasi yang sesak. Dengan bertambahnya kehadiran orang lain menyebabkan gagalnya usaha yang dilakukan individu dalam mencapai tujuannya. Kesesakan terjadi bila kehadiran orang lain dalam suatu seting membatasi kebebasan individu dalam mencapai tujuannya.
Menurut teori ini, bila timbul gangguan terhadap kebebasan berperilaku, maka orang akan cenderung untuk membentuk semacam sikap penolakan psikologis. Hal tersebut berhubungan dengan campur tangan sosial atau hambatan-hambatan terhadap perilaku yang berupa aktivitas-aktivitas dari orang-orang di lingkungan sekitar. Individu akan mengatasi situasi tersebut secara kognisi maupun tercetus dalam bentuk perilaku, misalnya dengan mencari lingkungan baru atau hanya sekedar memanipulasi lingkungan yang lama.
3) Teori Ekologi
Micklin mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.
Wicker (1967) menegmukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun. Analisis terhadap seting meliputi:
(a) Maintenance minimum, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini yang dinamakan maintenance setting adalah jumlah penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4x3 meter bisa dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.
(b) Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut (jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan).
(c) Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dibagi menjadi dua, yaitu:
• Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami dan istri.
• Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau keluarga.
Besarnya maintenance minimum antara performer dan non-performer tidak selalu sama. Dalam seting tertentu, jumlah performer lebih sedikit daripada jumlah non-performer, dalam seting lain mungkin sebaliknya.
Jika applicant lebih sedikit daripada maintenance minimum, berarti jumlah warga yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu aktivitas tidak mencukupi. Keadaan ini disebut undermanning atau undercrowding. Adequate manning terjadi bila jumlah warga sesuai (tidak kurang dan tidak lebih) dengan syarat seting. Overmanning atau overcrowding terjadi bila jumlah penghuni berlebihan sehingga seting tersebut tidak mampu lagi menampungnya.

Dampak kesesakan dan kepadatan pada manusia
Berbagai penelitian pada manusia menunjukkan bahwa manusia menampakkan tingkah laku yang menyerupai behavioral sink sebagai akibat dari kepadatan atau kesesakan. Holahan mencatat beberapa akibat kepadatan yang ditandai gejala antara lain sebagai berikut:
a. Dampak pada penyakit dan patologi sosial
1) Reaksi fisiologik, misalnya peningkatan denyut jantung dan meningkatnya tekanan darah.
2) Penyakit fisik, seperti psikosomatik (gangguan pencernaan, gatal-gatal, dan sebagainya yang tidak disebabkan oleh kelainan fisik) dan meningkatnya angka kematian.
3) Patologi sosial, misalnya meningkatnya kejahatan, bunuh diri, penyakit jiwa, dan kenakalan remaja.
b. Dampak pada tingkah laku sosial
1) Agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri atau murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density).
2) Menarik diri dari lingkungan sosial.
3) Kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan berkurangnya tingkah laku menolong sesama anggota kelompok.
4) Kecenderungan untuk lebih banyak melihat sisi jelek dari orang lain jika terlalu lama tinggal bersama orang lain itu di tempat yang padat atau sesak.
c. Dampak pada hasil usaha dan suasana hati
1) Hasil usaha atau prestasi kerja menurun terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.
2) Penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan.
3) Suasana hati (mood) cenderung lebih murung.
Stokols mengatakan bahwa apabila kesesakan tidak dapat diatasi, maka akan menyebabkan stres pada individu. Stres yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stres. Individu yang mengalami stres umumnya tidak mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain.
Sedangkan Freedman menyatakan bahwa bila lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada didalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologis, dan menurunnya kualitas hidup.
Ditambahkan oleh Ancok (1989), perasaan sesak (crowding) di dalam rumah akan menimbulkan beberapa permasalahan antara lain:
1) Menurunnya frekuensi hubungan sex.
2) Memburuknya interaksi suami istri.
3) Memburuknya cara pengasuhan anak.
4) Memburuknya hubungan dengan orang-orang diluar rumah.
5) Meningkatnya ketegangan dan gangguan jiwa.
Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi (1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perialku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih; (3) kontrol pribadi yang kurang; dan (4) stimulus yang berlebih.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk.(1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga, atau menghadiri reuni atau resepsi.

Referensi:
Wirawan Sarwono, Sarlito. (1992). Psikologi lingkungan. Jakarta: PT Grasindo