Ruang Personal (Personal Space)
Manusia mempersepsikan ruang disekitarnya lengkap dengan isinya, tidak berdiri sendiri. Jika isi ruang itu adalah manusia lain maka orang langsung akan membuat suatu jarak tertentu antara dirinya sendiri dengan orang lain itu dan jarak itu sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas hubungan antar orang itu.
Ungkapan dalam kalimat sehari-hari dapat menunjukkan bagaimana sebenarnya kualitas hubungan antar manusia yang terjadi. Misalnya seorang karyawan mengatakan pada rekannya, “Bapak Direktur kita yang baru, masih termasuk keluarga dekat dengan saya.” Kalimat ini berarti bahwa sekalipun di kantor karyawan itu harus menjaga jarak antara dirinya sendiri dengan Bapak Direktur, tetapi di rumah ia bisa lebih bebas ngobrol sambil berposisi berdekatan dengan Bapak Direktur itu. Atau jika seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Aku akhir-akhir ini merasa makin jauh dari kamu.” Itu berarti bahwa ia merasa bahwa istrinya tidak mau didekatinya lagi secara fisik sampai batas tertentu. Padahal sebelumnya sang suami tidak ada masalah dalam hal kedekatan fisik dengan istrinya.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam kehidupan sehari-hari jarak yang diperkenankan oleh seseorang terhadap orang (orang-orang) lainnya bergantung sekali pada bagaimana sikap dan pandangan orang yang bersangkutan terhadap orang (orang-orang) lainnya itu. Makin merasa akrab dia, makin dekatlah jarak yang diperkenankannya. Sebaliknya, lawan bicaranya itu juga bisa memperkirakan bagaimana sikap dan pandangan orang pertama itu terhadap dirinya dan cara si orang pertama itu menjaga jarak. Kalau reaksinya ketika didekati justru ia makin menjauhkan diri, itu berarti ia kurang suka kepada lawan bicaranya. Akan tetapi, kalau reaksi waktu didekati malah makin memperdekat jarak, artinya orang itu bersedia untuk berhubungan akrab. Dengan kata lain, dalam psikologi lingkungan, jarak antar individu ini adalah juga sarana komunikasi.
Sebagai sarana komunikasi antar individu inilah persepsi ruang seseorang dinamakan ruang personal (personal space). J.D Fisher dkk, mendefinisikan personal space sebagai suatu batas maya yang mengelilingi diri kita yang tidak boleh dilalui oleh orang lain.
Definisi itu ternyata sangat mirip dengan yang diajukan oleh Holahan. Jadi, personal space itu seolah-olah merupakan sebuah balon atau tabung yang menyelubungi diri kita dan tabung itu membesar dan mengecil bergantung dengan siapa kita sedang berhadapan. Menurut Hall (1963), ada 4 macam jarak personal space, yaitu:
1. Jarak intim (0 – 18 inci / 0 – 0,5 m), yaitu jarak untuk berhubungan seks, untuk saling merangkul antar kekasih, sahabat, atau anggota keluarga, atau untuk melakukan olahraga kontak fisik seperti gulat dan tinju.
2. Jarak personal (18 inci – 4 kaki / 0,5 – 1,3 m), yaitu jarak untuk percakapan antara dua sahabat atau antar orang yang sudah saling akrab.
3. Jarak sosial (4 – 12 kaki / 1,3 – 4 m), yaitu untuk berhubungan yang bersifat formal seperti bisnis, dan sebagainya.
4. Jarak publik (12 – 25 kaki / 4 – 8,3 m), yaitu untuk hubungan yang lebih formal lagi seperti penceramah atau aktor dengan hadirinnya.
Selanjutnya Hall mengatakan bahwa fungsi personal space ini sebagai alat komunikasi bisa diteliti secara khusus. Ilmu untuk meneliti personal space ini dinamakan proxemics (proxy = jarak), yaitu ilmu tentang space sebagai media hubungan antar manusia. Salah satu metode yang dipakai dalam proxemics adalah prosedur stop-jarak, yaitu orang percobaan (o.p) diminta untuk duduk atau berdiri di suatu tempat tertentu dan orang lain diminta untuk mendekatinya secara bertahap (makin lama makin mendekat). Jika o.p sudah merasa terganggu atau kurang senang maka ia harus menyuruh orang lain itu berhenti dan pemimpin percobaan (p.p) akan mencatat jarak antara o.p dan orang lain itu pada saat dia dihentikan. Jarak inilah yang menunjukkan personal space dari o.p terhadap orang yang bersangkutan. Sekali lagi, ternyata jarak itu bervariasi bergantung siapa yang mendekati o.p dan dalam keadaan apa o.p didekati serta siapakah o.p itu sendiri.
Heshka dan Nelson (1972) melaporkan bahwa salah satu penentu perbedaan jarak dalam personal space yang bergantung pada diri individu itu sendiri adalah jenis kelamin dari individu yang bersangkutan. Wanita maupun pria sama-sama membuat jarak dengan lawan bicara yang berlainan jenis kelaminnya. Sebaliknya dalam hal lawan bicaranya sesama jenis, wanita akan mengurangi jarak personal spacenya jika lawan bicaranya itu akrab. Semakin akrab semakin kecil jarak personal spacenya. Akan tetapi, pada laki-laki keakraban antar sesama jenis tidak berpengaruh pada personal space. Dengan kata lain, pada laki-laki jarak itu akan sama saja, terlepas daripada kadar keakraban hubungan antar orang yang bersangkutan.
Faktor umur juga berpengaruh pada personal space seseorang. Pada umumnya, makin bertambah umur seseorang, makin besar jarak personal space yang akan dikenakannya pada orang-orang tertentu. Pada remaja misalnya, personal space terhadap lawan jenis akan lebih besar daripada anak-anak. Sebaliknya, anak-anak akan membuat jarak yang lebih besar dengan orang yang tidak dikenal daripada remaja atau orang dewasa.
Pada usia berapakah personal space ini mulai timbul pada diri seseorang ? Mengenai hal ini ada perbedaan pendapat. Duke dan Wilson (1973) serta Ebert dan Lepper (1975) menyatakan berdasarkan penelitian-penelitian mereka, bahwa personal space itu mulai timbul pada usia 45-63 bulan. Akan tetapi, penelitian-penelitian lain menunjukkan usia yang lebih tinggi. Altman (1975) menyatakan bahwa personal space itu baru tumbuh pada usia remaja.
Selanjutnya dibuktikan juga bahwa tipe kepribadian itu sendiri berpengaruh pada personal space seseorang. Duke dan Nowicki menyatakan bahwa orang dengan tipe kepribadian eksternal (merasa bahwa segala sesuatu lebih ditentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya sendiri) memerlukan jarak personal space yang lebih besar dibandingkan orang bertipe internal (merasa bahwa segala sesuatu lebih banyak ditentukan oleh dirinya sendiri).
Dalam penelitian lain, Cook (1970) juga mengemukakan bahwa orang bertipe ekstrovert (lebih terbuka terhadap orang lain) memerlukan jarak personal space yang lebih kecil daripada tipe introvert (lebih berorientasi pada diri sendiri).
Selanjutnya Holahan melaporkan bahwa latar belakang suku bangsa dan kebudayaan seseorang juga mempengaruhi personal spacenya. Misalnya, orang Jerman lebih formal dalam berkomunikasi dengan orang lain dan karenanya mereka lebih menjaga jarak. Jika personal space mereka terganggu, sikap mereka menjadi ofensif. Di pihak lain, orang Inggris juga menjaga personal space dalam jarak yang jauh, tetapi lebih disebabkan oleh keinginan mereka untuk tidak mengganggu personal space orang lain. Mereka berbicara berbisik-bisik dengan temannya jika ada orang ketiga yang ingin mereka jaga personal spacenya. Akan tetapi, perbuatan ini oleh orang Amerika justru dianggap tidak menyenangkan karena bisa disangka sedang membicarakan suatu rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang ketiga tersebut.
Orang Arab lain lagi, dalam berkomunikasi mereka harus sangat berdekatan. Dengan sesama jenis, kaum lelakinya saling merangkul dan mencium, bahkan mencium bau badan lawan bicaranya merupakan bagian yang diharuskan dalam komunikasi.
Akhirnya, variasi dalam personal space ini ternyata dipengaruhi juga oleh keadaan lingkungan dimana orang-orang yang sedang berinteraksi itu berada. Dalam ruang yang sempit diperlukan jarak lebih lebar daripada ruang yang luas. Penyekat ruangan bisa mengurangi perasaan invasi terhadap personal space. Dalam keadaan gelap orang cenderung untuk saling menyentuh.
Hubungan antara ruang personal dengan lingkungan
Hubungan antara Ruang Personal dengan lingkungan adalah dimana ruang personal ini berkaitan dengan batas-batas yang ada di sekeliling orang dimana jika batas ini terganggu atau ada ketidaknyaman dalam diri seseorang akan mengakibatkan lingkungan yang berada di sekitarnya pasti terganggu. Contohnya : seseorang yang masuk ke dalam bus tapi, mengganggu penumpang lain tentunya akan mengakibatkan, penumpang lainnya terganggu.
Dari penjabaran di atas tentunya dapat disimpulkan bahwa privasi, teknik territorial, dan ruang personal sangat erat kaitannya dengan lingkungan sekitar, dan dapat pula menyebabkan ketidakyamanan jika tidak digunakan dengan baik.
Privasi (Privacy)
Di atas telah dikatakan bahwa orang Jerman cenderung untuk menjaga jarak dengan lawan bicaranya. Personal space yang besar ini ternyata sesuai pula dengan kecenderungan mereka untuk membuat pintu-pintu yang tebal dan ruangan-ruangan kedap suara. Maksudnya agar mereka bisa mengurangi gangguan dari luar terhadap dirinya sampai ke tingkat yang paling minimal. Dalam psikologi lingkungan, gejala ini dinamakan privacy.
Privacy adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya. Jika kita meminjam istilah psikoanalisis, privacy berarti dorongan untuk melindungi ego seseorang dari gangguan yang tidak dikehendakinya.
Holahan pernah membuat alat untuk mengukur kadar dan mengetahui jenis-jenis privacy (privacy preference scale) dan ia mendapatkan bahwa ada 6 jenis dalam privacy yang terbagi dalam dua golongan.
1. Golongan pertama adalah keinginan untuk tidak diganggu secara fisik. Golongan ini terwujud dalam tingkah laku menarik diri (withdrawal) yang terdiri atas 3 jenis:
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude).
b. Keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas (seclusion).
c. Keinginan untuk intim (intimacy) dengan orang-orang (misalnya dengan keluarga) atau orang tertentu saja (misalnya dengan pacar), tetapi jauh dari semua orang lainnya.
2. Golongan kedua adalah keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu (control of information). Tiga jenis privacy yang termasuk dalam golongan ini adalah:
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anonimity);
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve); dan
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring).
Khusus golongan kedua dari jenis-jenis privacy ini menunjukkan adanya kecenderungan untuk merahasiakan sesuatu tentang diri sendiri. Namun antara privacy dan kerahasiaan (secrecy) ada perbedaan yang hakiki. Menurut Warren dan Laslett (1977), perbedaan antara kedua konsep itu adalah privacy merupakan kosensus masyarakat dan merupakan hak individu yang diakui oleh masyarakat, sedangkan secrecy lebih mempunyai konotasi negatif, tidak disukai masyarakat dan tidak ada kaitannya dengan hak individu.
Dari uraian diatas nampak bahwa privacy ini merupakan inti dari personal space. Menurut Holahan, privacy adalah hasrat atau kehendak untuk mengontrol akses fisik maupun informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain, sedangkan personal space adalah perwujudan privacy itu dalam bentuk ruang (space). Dengan demikian, privacy ini juga mempunyai fungsi dan merupakan bagian dari komunikasi. Misalnya Holahan mengatakan bahwa adanya kemungkinan untuk sewaktu-waktu mengundurkan diri atau menghindar dari seseorang yang tidak disukai akan menyebabkan hubungan dengan orang yang tidak disukai itu bisa lebih bertahan daripada jika kemungkinan untuk menghindar itu sama sekali tidak ada.
Selain itu, privacy juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal diri sendiri dan menilai diri sendiri. Jika privacy ini terganggu, apalagi secara terus-menerus, akan terjadi proses ketelanjangan sosial, yaitu merasa semua orang tahu tentang rahasia diri sendiri sehingga timbul rasa malu menghadapi orang lain. Selain itu, juga terjadi proses deindividuasi dimana orang merasa bahwa individunya sudah tidak dihargai lagi karena itu ia pun tidak peduli pada harga diri sendiri maupun harga diri orang lain. Gejala seperti ini terjadi misalnya pada orang (misalnya artis) yang kisah-kisah pribadinya digosipkan atau pasien-pasien rumah sakit jiwa yang terus-menerus diobservasi selama 24 jam, diperiksa secara fisik dengan rutin dan toilet-toilet sengaja dibuat tak berpintu (gangguan terhadap akses fisik).
Hubungan antara Privasi dengan Lingkungan
Berikut akan dijelaskan tentang Privasi ternyata berpengaruh terhadap situasi lingkungan , dimana ketika ada seseorang yang memiliki tingkat privasi yang tinggi terhadap masalah yang sedang ia alami maka, orang tersebut cenderung ingin memisahkan diri dari lingkungannya dan cenderung, mencari tempat dimana ia bisa menyendiri. Tentunya lingkungan sekitarnya pun akan mengalami perubahan, perubahan terjadi yang paling mencolok adalah keluarganya. Keluarga pasti bertanya-tanya dengan masalah apa yang sedang dialami, tetapi ia tertutup dengan masalahnya. Lain halnya dengan seseorang yang memiliki privasi yang rendah terhadap masalah yang ia alami maka, orang tersebut cenderung mau berbagi terhadap orang dekatnya, baik keluarga ataupun teman-temannya, sehingga lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanannya tau keadaan orang tersebut. Tapi, privasi yang tinggi dan rendah memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dalam penilaian hubungannya dengan lingkungan. Biasanya kita tidak terlalu menyukai orang-orang yang terlalu terbuka atau tertutup dalam kehidupan sehari-hari, tapi kita lebih menyenangi orang yang dapat mengimbangi antara keterbukaan dan ketertutupan dalam menghadapi masalah, sehingga ia dapat mengatur privasinya dalam berinteraksi di dalam lingkungan masyarakat.
Teritorialitas (Territoriality)
Hal yang erat hubungannya dengan privacy dan personal space adalah territoriality (teritorialitas). Sama dengan personal space, teritorialitas adalah juga perwujudan ego yang tidak ingin diganggu. Dengan kata lain perwujudan privacy.
Akan tetapi, jika personal space merupakan kapsul maya yang berpindah-pindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan, teritorialitas merupakan tempat yang nyata, relatif tetap, dan tidak berpindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Teritori berarti wilayah atau daerah dan teritorialitas adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang. Kamar tidur di rumah adalah teritori penghuninya. Jika ada orang yang tidak diundang masuk ke kamar tidur itu walaupun si penghuni sedang tidak di rumah maka penghuni itu akan tersinggung rasa teritorialitasnya dan ia akan marah. Demikian pula jika di lapangan parkir sebuah kantor sudah terpampang papan bertuliskan “Direktur” di salah satu tempat parkir maka orang lain diharapkan untuk tidak memarkir kendaraannya di tempat itu karena tempat itu sudah merupakan teritori Bapak Direktur. Contoh lain adalah bangku-bangku di ruang kuliah atau gedung bioskop. Kalau orang yang menempati bangku itu ingin pergi sebentar dan ia tidak ingin ada orang lain menempati bangkunya sementara ia pergi maka ia akan meninggalkan sesuatu (misalnya buku catatan, tas, map, tiket) di atas bangku itu. Orang lain yang melihat benda yang ditinggalkan itu diharapkan tahu bahwa bangku itu sudah menjadi teritori orang lain sehingga tidak boleh diduduki.
Dari uraian diatas dapatlah didefinisikan teritorialitas sebagai berikut, “Teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar.”
Fisher (1984) menyatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi dari orang atau orang-orang yang bersangkutan sendiri. Persepsi itu bisa aktual (memang nyatanya ia benar memiliki), tetapi juga bisa hanya merupakan kehendak untuk menguasai atau mengontrol suatu tempat. Tingkah laku teritorialitas terhadap kamar tidur, ruang kantor, atau batas wilayah negara misalnya, adalah tergolong aktual. Namun, teritorialitas terhadap bangku kuliah atau suatu tempat dibawah pohon rindang di Kebun Raya lebih merupakan kehendak untuk menguasai saja. Masalahnya, aktualisasi persepsi ini bisa sangat subjektif. Misalnya, jika seorang penghuni liar di perkampungan kumuh di sebuah kota besar diharuskan meninggalkan gubuknya, ia tidak akan mau karena ia merasa gubuknya itu sudah menjadi teritorinya karena ia sudah menghuni tempat itu bartahun-tahun tanpa ada yang mengusiknya. Padahal menurut ketentuan Dinas Tata Kota, kepemilikan harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Disinilah akan timbul konflik teritori antar pihak yang berselisih. Jika yang berselisih itu adalah dua bangsa yang memperebutkan teritori untuk wilayah suatu negara maka bisa terjadi perang, misalnya perang antar Arab-Israel atau Perang Teluk antara Irak dan pasukan sekutu yang membantu Kuwait (tahun 1991).
Konflik-konflik teritorialitas bisa terjadi karena memang manusia cenderung bertingkah laku tertentu dalam mewujudkan kepemilikan atau haknya atas teritori tertentu. Beberapa tingkah laku itu, antara lain menyatakan kepada orang lain bahwa suatu tempat adalah memang miliknya atau haknya. Selanjutnya ia merasa hanya dirinya sendiri sajalah yang berhak untuk melakukan sesuatu atas teritori itu. Kadang-kadang ia membari ciri pribadinya terhadap teritori itu, seperti memberi nama (misalnya memancangkan papan bertuliskan “Direktur” di tempat parkir) dan memberi ciri khas pada tempat itu (misalnya menghias ruang kantornya atau mengecat rumahnya sesuai dengan seleranya).
Setelah itu ia mengembangkan pikiran-pikiran dan kepercayaan-kepercayaan tentang teritori, misalnya percaya bahwa tanah yang dihuninya adalah warisan nenek moyangnya sejak zaman Majapahit atau menganggap bahwa negaranya adalah yang paling molek di seluruh dunia, atau merasa bahwa ia yang paling berhak atas bangku kuliah yang terdepan walau datang terlambat karena biasanya ia yang paling pagi datang di ruang kuliah dan biasanya duduk di bangku terdepan itu. Akhirnya setelah keyakinan-keyakinan ini berkembang, orang akan melakukan tindakan untuk mempertahankan teritorinya itu. Disinilah terbuka kemungkinan untuk terjadi konflik dengan orang lain yang bermaksud mengintervensi teritori itu.
Menurut Ley dan Cibriwsky (1976), kecenderungan agresivitas teritorial pada manusia memang lebih besar daripada hewan. Kecenderungan itu akan menjadi paling besar pada situasi-situasi dimana batas-batas teritori tidak jelas atau bisa dipermasalahkan. Itulah sebabnya perkelahian antar gang anak remaja di kota-kota besar lebih sering terjadi jika wilayah kekuasaan mereka tidak jelas. Sebaliknya, jika batas teritori itu jelas dan disepakati oleh semua pihak terkait maka agresivitas atau konflik teritorial akan jauh lebih sedikit.
Jika tingkah laku teritorialitas pada manusia berintikan pada privacy maka tingkah laku teritorialitas pada hewan mempunyai dasar yang agak berbeda. Fungsi teritorialitas pada hewan menurut Fisher adalah untuk survival, yaitu dorongan untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan jenis. Tingkah laku teritorialitas hewan ini, antara lain membuat atau mendiami tempat hunian, menyimpan bahan makanan di tempat tertentu, mencai atau mengumpulkan makanan dari suatu area tertentu, dan melindungi anak-anak hewan dari serangan binatang atau makhluk lain. Oleh K. Lorenz (1976), dorongan yang mendasari tingkah laku teritori pada hewan ini dinamakan naluri teritori.
Dengan demikian, teritorialitas pada manusia mempunyai fungsi lebih tinggi daripada sekedar fungsi survival. Namun, pada manusia pu teritorialitas ini tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan privacy saja. Lebih jauh lagi teritorialitas juga mempunyai fungsi sosial dan komunikasi, sama halnya dengan personal space. Fungsi sosial dari teritorialitas misalnya nampak dalam pertemuan-pertemuan resmi dimana sudah ditentukan tempat duduk setiap orang sesuai dengan kedudukan, pangkat, dan jabatan masing-masing. Seorang pegawai biasa tidak akan berani duduk di barisan paling depan walaupun tempat itu kosong karena bapak-bapak pejabat belum hadir. Begitu juga seorang anak tidak akan berani duduk di kursi ayah di meja makan karena kursi itu dianggap melambangkan status kepala keluarga di rumah. Oleh karena itu, teritorialitas juga mencerminkan lapisan-lapisan kelas sosial dalam masyarakat.
Sebagai media komunikasi, sama halnya dengan personal space, teritori juga terbagi dalam beberapa golongan. Penggolongan yang diajukan oleh Altman adalah sebagai berikut:
1. Teritori primer, yaitu tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab hubungannya atau yang sudah mendapat ijin khusus. Misalnya rumah dan ruangan kantor.
2. Teritori sekunder, yaitu tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Misalnya, ruang kelas, kantin khusus di kantor, dan ruang latihan untuk suatu klub olahraga atau kesenian.
3. Teritori publik, yaitu tempat-tempat terbuka untuk umum, dimana pada prinsipnya setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat itu. Misalnya, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, dan ruang sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum.
Hubungan antara Teritorialitas dengan Lingkungan
Hubungan antara Teknik Teritorial dengan lingkungan dimana territorial terbagi atas 3 bagian : territorial primer, sekunder, dan umum. Primer contohnya adalah ruang kerja, ruang tidur, dimana jika seseorang memiliki ruang kerja yang tidak teratur, maka juga dapat mengakibatkan ketidaknyamanan di lingkungan sekitarnya walaupun tingkat ketidaknyamanannya tidak terlalu tinggi, territorial sekunder contohnya, toilet yang sifatnya semi public dimana daerah tersebut sering dikunjungi oleh banyak orang apabila keadaan toilet tidak bersih, juga akan mengakibatkan lingkungan masyarakat merasa tidak nyaman. Territorial umum contohnya adalah antrian karcis yang jika tidak antri atau tidak menaati tata tertib pembelian karcis maka, akan mengakibatkan perselisihan yang dapat menimbulkan lingkungan masyarakat terganggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar